Minggu, 07 Juni 2009

AMBALAT dlm perspektif mahasiswi china



MENGHANGATNYA kembali kasus Ambalat akhir–akhir ini, mendorong saya sebagai mahasiswi yang mempelajari isu–isu yang berhubungan dengan kelautan untuk memberi opini. Pertama–tama saya ingin memberikan penjelasan singkat tentang fakta–fakta Ambalat.

Fakta pertama:
Ambalat merupakan offshore area dan bukan merupakan sebuah pulau, karena banyak orang yang memiliki persepsi yang salah dan menyebut ambalat sebagai “Pulau Ambalat”.


Fakta kedua:
Malaysia mulai mempermasalahkan status Ambalat setelah berhasil menang atas Indonesia untuk kasus Sipadan–Ligitan di mahkamah internasional (International Court of Justice) tahun 2002. Berhubung letak Ambalat dekat dengan dua pulau ini, Malaysia semakin gencar mengklaim Ambalat yang dia beri nama blok ND6 dan ND7. Sebenarnya letak Ambalat memang sudah ada di peta Malaysia tahun 1979, tetapi peta ini mengundang banyak kontroversi karena banyak negara tetangga yang protes dan menolak peta ini, karena peta ini memuat area negara–negara tetangga. Indonesia mengirim surat protesnya pada Febuari 1980, yang diikuti oleh Philippines, China, Singapore, Thailand, Vietnam, Thailand, dan juga UK yang mewakili Brunei.

Fakta ketiga: Permasalahan Ambalat menjadi panas ketika perusahaan nasional minyak Malaysia, Petronas memberi licenses untuk eksplorasi di dua bloknya, ND6 dan ND7 kepada Royal Dutch/Shell Group pada 16 Febuari 2005. Kedua blok ini tumpang tindih (overlap) dengan area Indonesia –blok Ambalat dan Ambalat Timur yang di-licensed kepada ENI dan Unocal pada Desember 2004.

Fakta ke-empat:
Dalam menganalisa kasus Ambalat dengan seksama, maka sangatlah penting untuk mempelajari sejarah perkembangan perbatasan Indonesia - Malaysia. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonial Inggris dan Belanda di Borneo. Hal penting yang harus dipelajari adalah “Konvensi 1891” antara Inggris dan Belanda dalam membagi Borneo menjadi dua: daerah utara dibawah kontrol Inggris, dan daerah selatan dibawah kekuasaan Belanda. Sejak era kemenangan, Malaysia telah menjadi pewaris dari Inggris, dan Indonesia menjadi pewaris dari Belanda. Sehingga, untuk menentukan garis batas, kedua negara harus melihat kembali ke “Konvensi 1891.” Investigasi secara intensif perlu dilakukan dalam memutuskan apakah konvensi tersebut menjelaskan tentang kepemilikan Ambalat. Tetapi kelihatannya, konvensi tersebut tidak bisa menolong dalam menyelesaikan kasus ini, karena konvensi 1891 tidak mengandung kepemilikan Ambalat di dalamnya. Konvensi 1891 hanya menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda setuju untuk mengakui garis batas sampai di pesisir timur (east coast) Borneo.

Fakta kelima:
Eni SpA, perusahaan minyak terbesar di Italia, pada April 2009, menemukan cadangan minyak (oil reserves) baru di blok Ambalat dan dapat memulai produksi minyaknya tahun depan. Menurut hasil yang ditemukan, ENI dapat memproduksi 30.000 hingga 40.000 barel minyak per hari.

Fakta keenam:
Menurut pemerintah Indonesia blok Ambalat memiliki cadangan minyak diantara 100 juta hingga 1 miliar barel minyak dengan potensi untuk dieksploitasi dalam 30 tahun. Dengan menurunnya produksi minyak di Indonesia yang membuat Indonesia harus mengundurkan diri dari OPEC pada September 2008, membuat blok Ambalat semakin naik nilainya. Terlebih lagi, Indonesia dan Malaysia sama–sama sedang mengantisipasi kenaikan yang signifikan dalam konsumsi domestik untuk minyak mentah sejalan dengan strategi energy intensive growth dan usaha–usaha industrialisasi dari kedua belah pihak.

Dengan fakta–fakta yang telah saya sebutkan di atas, maka tidak heranlah sampai sekarang masih diperdebatkan tentang status Ambalat: Sebenarnya, milik siapakah Ambalat?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan dasar UNCLOS 1982 (the United Nations Convention on the Law of the Sea) yang disetujui oleh 158 negara (termasuk Indonesia dan Malaysia) dan European Community. UNCLOS disebut juga Law of the Sea Convention. Permasalahannya adalah, walaupun Indonesia dan Malaysia telah menandatangi dan meratifikasi UNCLOS dan mengklaim 12nm territorial seas dan continental shelf dan juga EEZ (Exclusive Economic Zone) sejauh 200nm, hanya satu pihak yang telah membuat klaim atas wilayah jurisdiksinya.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di UNCLOS III, sehingga dalam UNCLOS 1982 dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.


Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia, yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Lalu timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No 38/2002, yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi PP itu harus direvisi karena ICJ memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.

----- Melihat Kasus Ambalat dari Perspektif UNCLOS 1982
---------

UNCLOS memang sebuah dokumen peraturan antarbangsa yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa-sengketa wilayah yang merupakan wilayah lautan. Dia melengkapi dokumen Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen, yang juga banyak digunakan pada masanya dalam menentukan batas wilayah sebuah negara. Akan tetapi, selain melengkapi, UNCLOS juga mengubah beberapa pengertian yang sebelumnya ada dalam Konvensi Geneva 1958.

Dua hal yang lebih maju dalam UNCLOS adalah mengenai Landas Kontinen dan EEZ yang diutarakan Menlu Malaysia sebagai dua pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita semua mencoba mengetahui apa sebenarnya yang tertuang dalam UNCLOS.
Salah satu pedoman penting untuk penetapan garis batas antara Indonesia dan Malaysia di sekitar Laut Sulawesi adalah Pasal 15 UNCLOS yang berbunyi: "Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satu pun di antaranya berhak, kecuali atas persetujuan yang lainnya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorialnya antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas".

Merujuk pada ketentuan pasal di atas, penetapan batas sepihak oleh Malaysia dalam Peta 1979 bertentangan dengan aturan tersebut. Pasal lain yang membedakan Indonesia dan Malaysia dalam cara penarikan garis batas wilayahnya adalah status Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) sebagai disebutkan dalam Pasal 46 dan 47 UNCLOS. Dalam pasal 47 (1) itu disebutkan, "Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah di mana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan termasuk atol adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu".

Akan tetapi dalam Pasal 47 (9) juga disebutkan bahwa, "Negara Kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian kepada Sekjen PBB". Sementara itu mengenai Zona Ekonomi Eksklusif, dalam Pasal 57 ditegaskan bahwa "Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".

Jika kita melihat lebih jauh ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS tersebut, maka dasar pemahaman dan pengetahuan atas pasal-pasal dalam konvensi tersebut barulah sebagian dari modal untuk beradu argumentasi. Yang tak kalah pentingnya adalah penguasaan teknologi sekaligus pengetahuan untuk mengetahui kondisi geologis kawasan Laut Sulawesi, khususnya sekitar perbatasan Indonesia-Malaysia. Modal untuk berdebat akan lebih lengkap apabila kita juga memiliki dokumen-dokumen sejarah mengenai pemanfaatan kawasan yang disengketakan tersebut.

Untuk mengingatkan kembali, gugatan Indonesia terhadap wilayah di perairan Laut Sulawesi sudah disampaikan sejak tahun 1979 ketika Malaysia mengeluarkan peta wilayahnya, dengan batas-batas yang membuat wilayah sejumlah negara lain pun masuk menjadi wilayah Malaysia. Ketika peta itu dibuat, UNCLOS memang belum ada. Ketika UNCLOS berlaku, banyak negara melakukan penyesuaian batas-batas wilayah mereka termasuk Indonesia. Tidak demikian halnya dengan Malaysia, padahal negara itu juga meratifikasi UNCLOS.

Fakta lainnya, meski Malaysia memasukkan wilayah sekitar Blok Ambalat dan Ambalat Timur sebagai wilayah mereka dalam peta 1979, negeri jiran itu tidak pernah memprotes pemberian hak eksplorasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Pertamina kepada sejumlah perusahaan minyak. Sikap Malaysia berubah pasca-Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan resmi menjadi wilayah mereka.

Dengan demikian menurut pihak Indonesia, klaim Malaysia atas Ambalat tidaklah sesuai dan dengan UNCLOS, karena Peta Malaysia 1979 dibuat sebelum UNCLOS dikeluarkan, dan peta 1979 itu tidak pernah direvisi kembali setelah UNCLOS berlaku. Pihak Indonesia juga berpendapat bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur, sah milik Indonesia karena dengan menggunakan konsep archipelago state yang tertera di UNCLOS, maka garis pangkal harus ditarik dari wilayah kepulauan terluar. Dengan demikian, jika Malaysia menggunakan UNCLOS 1982 untuk menetapkan batas wilayah perairannya maka Malaysia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan, karena Malaysia bukanlah negara kepulauan melainkan negara pantai biasa (coastal state), yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi.

Dengan status Malaysia sebagai coastal state, pihak Indonesia berpendapat bahwa Malaysia hanya dapat memiliki wilayah 12 mil di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan untuk resmi menjadi perairan teritorial Malaysia.

Di atas kertas, posisi Indonesia lebih unggul apabila bernegosiasi dengan Malaysia soal wilayah Blok Ambalat dan Ambalat Timur itu berdasarkan UNCLOS. Akan tetapi, Malaysia pun pasti mempunyai "senjata rahasia" untuk mereka pakai dalam beradu argumentasi dengan Indonesia, dan begitu pula dengan Indonesia. Apa pun senjata rahasia para juru runding kedua negara itu, bentuknya pastilah pengetahuan yang luas, mendalam, dan hasil pemikiran yang cerdas. Senjata seperti itu memang jauh lebih terhormat ketimbang senjata peluru kendali, peluru meriam, dan sejenisnya, yang terpasang di kapal perang atau pesawat tempur kedua negara.--- by Gloria Prisca Tjan (mahasiswa S2 Marine Affairs, Xiamen University China/kaltim.post

-------------- Redaksi; Appaun kita iringin dgn doa, smoga apa yg akan ditempuh anggota DPRRI/Komisi II maupun para diplomat kita,menghasilkan sesuatu yg lebih bermanfaat, tanpa kiranya melibatkan 'mesin perang dan simbahan darah' kedua negara,krn Malaysia pun masih saudara serumpun, yg juga maroritas muslim. Kita kembalikan saja kepada rencana ALLAH SWT, TUHAN YME ttg ini.....karena DIA-lah MAHA TAHU, MAHA BERKEHENDAK atas segalasesuatunya, amin yra ---------------

Tidak ada komentar: