Jumat, 29 Mei 2009

h agus salim THE GRAND OLDMAN


"THE grand old man Haji Agus Salim' adalah seorang ulama dan intelek," kata Bung Karno tentang Haji Agus Salim (1884-1954). Julukan "orang besar yang sudah tua" itu masuk akal. Ketika rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berlangsung, Juni-Agustus 1945, mungkin Agus Salim anggota tertua. Rata-rata umur para Bapak Bangsa adalah 30-45 tahun. Soekarno berumur 39 tahun, Hatta 43 tahun, sedangkan Haji Agus Salim sudah 61 tahun.

Sama seperti umumnya 67 Bapak Bangsa Indonesia yang lain, pemikiran Agus Salim keluar dari kepompong kepentingan pribadi. Mereka mendahului zaman. Begitu juga Agus Salim. Mereka meninggalkan jejak langkah, warisan nilai-nilai luhur cita-cita kemerdekaan. Sementara posisi "mendahului zaman" itu bagi Agus Salim tidak selalu mengenakkan. Sejarawan Taufik Abdullah pernah mencoba membuka tabir Haji Agus Salim sebagai aktor sejarah. Ia merasakan kegetiran Agus Salim menjadi pemimpin yang berorientasi pada pembaruan. Peran seseorang dalam ruang publik, seperti ditunjukkan Agus Salim, menjadi lebih getir ketika dia tidak hanya terbatas mengisi peran sosialnya, tetapi melampaui batas-batas.

Di antara empat kelompok itu tersebut nama Haji Agus Salim, yang dituakan tidak karena umur tetapi juga karena pengalaman internasionalnya, terutama dalam penguasaan bahasa-bahasa asing. Karena kelebihan-kelebihan itu dia diminta menjadi salah seorang anggota Panitia Sembilan yang berperan besar dalam perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang semula berjudul Piagam Jakarta.
Namun, lagi-lagi kita memperoleh kesan nama Agus Salim seolah-olah tenggelam oleh bayang-bayang nama Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan Mohamad Yamin. Menurut seorang panelis, Siti Ruhaini Dzuhayatin, "tenggelamnya" nama Agus Salim disebabkan faktor dokumentasi gagasan. Agus Salim belum sempat mendokumentasikan gagasan-gagasannya secara utuh.

Pandangan-pandangan Agus Salim yang kritis tentang Islam bagi kita menjadi lengkap ketika membaca teks- teks ceramah yang disampaikan di Universitas Cornell tahun 1953. Seorang panelis, Buddy Munawar-Rachman, yang mendalami teks-teks naskah itu mengungkap tiga hal penting dalam Islam, yakni jihad, pluralisme, dan modernitas Islam. Ketika dipisahkan dari Partai Syarikat Islam dan membentuk Partai Penyadar tahun 1936, Agus Salim ingin menyadarkan umat untuk berpegang teguh pada Al Quran dan sunah Rasul.
Dalam soal orang yang sudah mati, misalnya, Agus Salim berpendapat, proses kembali mayat ke tanah itu diperpendek dalam dapur pembakaran listrik krematorium. Bagi Agus Salim, haluan negara sudah dipatrikan RI tidak menjadi negara teokrasi, kata Emil Salim. Pemakalah yang kebetulan keponakan Agus Salim itu juga menunjukkan, Agus Salim tak juga menginginkan sebuah negara yang dirumuskan dari ayat suci Al Quran atau hadis Rasul dalam tubuh UUD 1945. "I think that for Indonesia we have overcome that difficulty," kata Agus Salim dalam salah satu ceramahnya di Universitas Cornell tahun 1953.

Ucapan leiden is lijden ( memimpin adalah menderita) dari sesama Bapak Bangsa, Kasman Singodimedjo, tentang Agus Salim tetap berlaku. "Memimpin adalah menderita", sebuah pepatah yang sudah kita lupakan. Memimpin adalah menderita, memimpin adalah melayani, tinggal menjadi slogan dan jadi aus saat ini, digantikan faham dan keyakinan praksis kekuasaan sebagai privilese, memimpin adalah mangreh, bukan momong. Niscaya para Bapak Bangsa, termasuk Soekarno, Hatta, Soepomo, Yamin, juga Agus Salim, terperangah kaget menyaksikan bangsa dan negara yang mereka dirikan saat ini secara budaya melapuk---- Repro; http://id.shvoong.com ---

Tidak ada komentar: