Minggu, 26 April 2009

kematian menurut quraish shihab


Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian,terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali, tetapi duakali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian: "Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami menyadari dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk keluar (dari siksa neraka)?" Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai"ketiadaan hidup," atau "antonim dari hidup." Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusiamenarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupankedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika iahidup kekal di hari akhirat. Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat,sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusanayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dankehidupan sesudah kematian kedua.

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentangkematian bukan sesuatu yang menyenangkan.
Namun manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (bacasurat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam danHawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM. Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orangyang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akandihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena mendugabahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akandidapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapasulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Ataumungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadapkeluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahuimakna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanyamerasa cemas dan takut menghadapi kematian. Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari kalangan para pemikir sekalipun. Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar.

Walaupunpada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akanterlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pastimengalami nasib yang sama. Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampaiterpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang,kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yangmemandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka. Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan berarti kepunahan.

Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaanberbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya,dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tempat tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada. Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amatberakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala,bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknikyang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip olehAsy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297), "Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup." Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersamamanusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau keyakinanorang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah(I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang menyatakan: "Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya, maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul beban jiwa." Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi inisebagai arena untuk bekerja keras, dan kematian merupakanpintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakanketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa adakehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satuperjalanan panjang dalam evolusi manusia, di manaselanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macamkenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah sertamenumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian,manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dantidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu,agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentangkematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda,"Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi(kematian)." Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian. Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ketingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Maha hidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan diakhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya(kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainvaal-hayawan (kehidupan yang sempurna). "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]: 64). Dijelaskan pula bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77) Di lain ayat dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38). Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang disanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dankesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut RaghibAl-Isfahani: "Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian harus berpindah dan satu negen ke negen (yang lain) sehingga kalian menetap di satu tempat." (Abdul Karim AL-Khatib, I:217) Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi padahakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusiadapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayamyang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapaikesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikianjuga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannyakecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati). Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak(menahan). Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya, "Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu." Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia.
Bukankah kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsakyang berarti menahan (di sisi-Nya)? Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang................ (repro Quraish shihab)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Nuhun Abah tulisan na....Barakallaah....