Kamis, 16 April 2009

pemilu dan islam


Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).

Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit.

Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh, secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).

Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya‘b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).

Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5). ----- repro by @rief dari M. Shiddiq Al-Jawi

Tidak ada komentar: