Rabu, 29 April 2009

LISUNG, LESUNG what this?


Memukul Lesung, Memuja Dewi Sri ?
MENUMBUK padi sambil melantunkan irama lagu merdu adalah ritual indah yang dinikmati nenek moyang kita. Kegiatan ini kemudian dilestarikan dalam bentuk kesenian gondang. Seiring waktu, kesenian ini tergerus. Tidak banyak lagi orang yang melakukannya. Tidak juga oleh warga Kota Karawang yang terkenal dengan julukan lumbung padi.
Menurut catatan sejarah, kesenian gondang di Jawa Barat pernah menjadi kesenian yang sangat eksis. Puncak kejayaan terjadi pada tahun 1960 hingga 1980-an. Gondang nyaris mengisi berbagai acara hajatan. Dalam Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda (LBJSS), disebutkan gondang adalah nutu bari ngawih atau menumbuk padi sambil bernyanyi.
"Awalnya merupakan suatu penghormatan terhadap Dewi Sri yang dalam mitologi Sunda dipercaya sebagai Dewi Padi. Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi,"

Seni Buhun Tutulungan
Kesenian tradisional "Tutunggulan" sering disamakan dengan kesenian gondang, padahal pada pelaksanaannya berbeda karena kalau tutunggulan tidak diikuti dengan lagu-lagu atau pantun yang bersaut-sautan sedangkan gondang menggunakan lagu dan sisindiran. Namun alat dan sarana yang digunakannya sama yaitu alu dan lisung. Kata tutunggulan berasal dari kata "nutu" yang artinya "menumbuk" sesuatu. Sesuatu yang ditumbuk itu biasanya gabah kering hingga menjadi beras, atau dari beras menjadi tepung. Menumbuk gabah menjadi beras tersebut biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu antara tiga sampai empat orang dan ayunan alunya mengenai lesung yang menimbulkan suara khas, artinya dapat berirama, dengan tujuan agar tidak membosankan dalam menumbuk padi.

Ini dilakukan hingga pekerjaan selesai. Dari kebiasaan itulah akhirnya muncul seni tutunggulan hanya saja ketika dimainkan tidak menumbuk padi tetapi langsung menumbukkan alunya kepada lesung. Dari ayunan alu itu menghasilkan suara-suara sesuai dengan keinginan yang memainkannya. Konon khabarnya lagu-lagu yang ke luar dari tutunggulan ini adalah seperti; lutung loncat, oray belang, caang bulan dll. Tiap kelompok memiliki jenis lagu tersendiri. Kesenian tutunggulan dimainkan oleh enam orang ibu-ibu dan dipertunjukkan kepada masyarakat manakala terjadinya ¿samagaha¿ atau disebut gerhana bulan di malam hari ataupun sering digunakan untuk menghadirkan warga agar hadir dalam acara musyawarah di balai desa. Belakangan, seni tradisional ini digunakan untuk menyambut tamu pada suatu upacara tertentu, biasanya upacara peresmian proyek, penyambutan tamu, dll.

Dari mana asalnya seni buhun tutunggulan ini ? , kalaupun belum ada data yg 'akurat' namun sebagian dari kita yakin bahwa kesenian ini berasal dari masyarakat Desa Wanayasa Kec. Wanayasa Kab. Purwakarta , yg kemudian dikenal sbg 'cikal bakal munculnya seni buhun Tutunggulan..... apapun, lestarikan. Bisa melalui eskul-ekstra kurikuler ditingkat SLTP-SLTA, kenapa harus malu?... (berbagai sumber/foto;mangle)


Tidak ada komentar: